Sabtu, 27 Desember 2008

Revitalisasi Karebosi Hilangkan Ruang Publik Warga Makasar

Masterplan_Karebosi.jpg
Masterplan Karebosi yang menang sayembara.
Foto: Koleksi PT Lintas Cipta Desain.

Revitalisasi Karebosi menjadi kontroversi. Suara deru alat berat yang mulai sibuk mengeruk tanah lapangan di jantung kota Makassar itu, sekencang deru kekhawatiran yang berkembang di ruang-ruang diskusi publik. Setelah direvitalisasi, akankah Karebosi tetap menjadi ruang publik yang gratis bagi seluruh lapisan masyarakat? Akankah Karebosi beralih fungsi menjadi sentra komersil semata, sebagaimana kecenderungan pembangunan kota yang terjadi selama ini? Citizen reporter Mustamin al-Mandary yang bermukim di Balikpapan, juga menggelisahkan Karebosi. Kegelisahannya itu yang menjadi inspirasi baginya untuk melakukan wawancara independen dan pengamatan seputar masalah revitalisasi alun-alun yang merupakan nol kilometer Makassar ini. (p!)
Saat ini, lapangan Karebosi yang dianggap sebagai salah satu ruang publik yang paling luas di Makassar, sedang direvitalisasi. Walaupun rencana revitalisasi ini sudah disampaikan oleh pemerintah kota pertengahan tahun 2006 yang lalu, namun respon masyarakat justru baru muncul pada saat pekerjaan revitalisasi itu mulai dilakukan. Sekelompok masyarakat sempat turun ke jalan bulan Oktober lalu, untuk memprotes pekerjaan ini. Akan tetapi, muncul pertanyaan, mengapa protes itu baru dilakukan sekarang? Bahkan diskusi mengenai masalah revitalisasi ini semakin memanas ketika muncul anggapan bahwa ratusan LSM di kota Makassar, yang semestinya melakukan proses kontrol dan menjadi mitra masyarakat dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, dianggap tidak melakukan apa-apa.

Bukan sekadar menghentikan banjir?
Dalam beberapa tahun terakhir, lapangan Karebosi sering mengalami banjir jika musim hujan. Pada kondisi banjir yang paling parah, seluruh permukaan lapangan bisa tergenang dan lapangan berubah menjadi danau. Hal ini diakibatkan karena lapangan Karebosi, menurut pengukuran terakhir tahun 2006, berada pada elevasi antara minus 50 – minus 80 cm dari permukaan jalan. Hal lain yang memperparah kondisi ini adalah lapangan Karebosi sendiri diapit oleh jalan raya serta bangunan-bangunan tinggi di keempat sisinya, sehingga air hujan tumpahnya ke lapangan Karebosi. Dengan saluran pembuangan yang ada sekarang, praktis volume air hujan yang cukup tinggi di musim hujan, khususnya di bulan Nopember sampai Januari, bisa menenggelamkan seluruh permukaan lapangan, belum lagi jika hujan deras bersamaan dengan saat pasang permukaan air laut.

Karena itulah, pemerintah kota Makassar berniat melakukan perbaikan. Akan tetapi pemerintah terbentur dengan biaya yang tidak sedikit. Pada rencana pertama, pemerintah ingin menawarkan pekerjaan ini kepada investor, tetapi tentu saja tidak akan ada yang berminat karena tidak adanya nilai ekonomis sebagai return.

Akhirnya pemerintah melakukan sayembara desain revitalisasi lapangan Karebosi pada pertengahan tahun 2006, dengan tujuan mencari masterplan yang jadi acuan pemerintah kota serta diharapkan bisa menggaet investor.

Sayembara ini dimenangkan oleh PT Lintas Cipta Desain (PTLCD) yang memanfaatkan lahan bawah tanah seluas 2,9ha di sisi utara Karebosi 85% sebagai tempat parkir dan 15% sebagai tempat aktivitas ekonomi. Pada presentasi desain di hadapan Walikota Makassar yang dihadiri oleh wakil presiden, Jusuf Kalla, mengemukan keinginan agar pekerjaan ini secepatnya bisa diselesaikan.

Sederhananya, revitalisasi lapangan Karebosi akan menaikkan elevasi lapangan sekitar 40 – 60 cm dari permukaan jalan. Rencana ini akan memanfaatkan metode cut and fill di mana tanah di bawah lapangan akan digunakan untuk menimbun permukaan.

Akan tetapi, desain awal tidak menarik investor karena investasi parkir bawah tanah jauh lebih mahal dibandingkan parkir di atas bangunan sementara alokasi 15% area bawah tanah sebagai tempat aktivitas ekonomi terlalu sedikit. Untuk itulah, desain akhirnya diubah dengan memperluas area aktivitas ekonomis menjadi 40%. Adapun area 60% lainnya akan digunakan sebagai tempat parkir yang akan menampung sekitar 800 kendaraan roda empat, termasuk tempat naik dan turunnya penumpang pete-pete untuk trayek yang melalui jalan Sudirman sehingga diharapkan kemacetan di jalan ini bisa dikurangi.

Seperti yang disampaikan Ihsan Imawan dari PTLCD, praktis tidak ada perubahan akses di permukaan lapangan Karebosi nanti. Penjelasan ini menjawab kemungkinan adanya pembatasan akses publik jika tempat aktifitas ekonomi bawah tanah sudah selesai. “Bahkan, dengan revitalisasi ini, permukaan lapangan Karebosi yang selama ini jarang dimanfaatkan karena tidak terawat dan tidak layak, akan diubah menjadi berbagai sarana olahraga dan aktivitas publik lainnya,” papar alumnus Fakultas Teknik Unhas ini.

Karebosi2.jpg

Bukan sekadar agar tak banjir lagi?.
Foto: Koleksi PT Lintas Cipta Desain.

Kontroversi di Tengah Masyarakat
Salah satu keberatan masyarakat terhadap revitalisasi lapangan Karebosi muncul dari kekhawatiran adanya kemungkinan tempat ini tidak akan bisa lagi dijadikan sebagai ruang publik. Taufik dari Wahana Lingkungan Hidup (Wallhi) Makassar, menekankan bahwa ruang publik seharusnya tidak digabungkan dengan ruang komersil. Dari sisi sejarah, revitalisasi lapangan Karebosi yang di areanya terdapat tujuh kuburan keramat juga menimbulkan kecemasan tersendiri, khususnya masyarakat yang mensakralkan kuburan itu dengan alasan masing-masing.

Dari sisi prosedur, proses tender pekerjaan revitalisasi Karebosi juga dipertanyakan. Ada anggapan bahwa pekerjaan ini dilakukan dengan penunjukan langsung kepada PT Tosan (PTT) milik Bang Hasan yang juga pemilik Makassar Trade Center (MTC). Lebih jauh bahkan ditengarai adanya kemungkinan “kerja sama” dengan group Bosowa yang sebentar lagi membangun menara pencakar langit di salah satu sisi Karebosi, tetapi tidak memiliki lahan parkir yang cukup di tempat itu.

Karena itulah, Walhi Makassar yang juga memayungi LBH berencana melakukan legal standing mengenai revitalisasi Karebosi. Seperti yang disampaikan Taufik, mereka akan mempertanyakan kebijakan pemerintah dalam masalah ini khususnya yang berhubungan dengan tata ruang, lingkungan hidup dan transparansi proses tender proyek. Sampai saat ini, Walhi sendiri belum menerima dokumen Amdal yang semestinya sudah harus rampung sebelum pekerjaan dilakukan.

Rawan dan Hati-hati
Akan tetapi, masalah Karebosi mulai merambah ke wilayah politik, demikian diakui beberapa tokoh Ormas dan LSM di Makassar yang bergerak di bidang hukum dan pembangunan kota. Ketika terjadi demonstrasi dari salah satu organisasi pemuda menentang revitalisasi yang nyaris menimbulkan bentrok fisik beberapa waktu yang lalu, beberapa LSM mengatakan tidak ingin turun ke jalan bersama demonstran itu karena mereka menganggap ada unsur politik yang cukup kental dalam aksi itu.

Namun di sisi yang lain, sejumlah LSM Makassar juga menyadari bahwa “diam”nya mereka justru akan menguntungkan kekuatan politik lain yang mendukung revitalisasi Karebosi. Oleh karena itu, sebagian besar mereka berhati-hati untuk mengambil sikap praktis karena kompleksitas masalah ini di mata mereka.

Perlu pula digarisbawahi disini bahwa walaupun terdapat banyak LSM di Makassar, namun bidang yang mereka kerjakan juga beragam. Seorang tokoh LSM mengakui bahwa mereka tidak ingin terlibat secara langsung dalam reaksi ini karena memang bidang pekerjaan mereka tidak berhubungan langsung dengan masalah ini. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa jika sekiranya ada LSM yang bergerak langsung di bidang ini ingin melakukan protes secara hukum, forum LSM Makassar akan memberikan dukungan penuh dan menunjukkan solidaritas.

Klarifikasi
Ihsan dari PTLCD ketika dimintai tanggapan atas reaksi masyarakat dan aktivis LSM, , menyatakan cukup kaget. Ihsan menjelaskan bahwa dari awal mereka terlibat dalam desain ini dan tim penilai dalam lomba desain itu adalah tim yang terdiri wakil pemerintah, lembaga konsultan independen dan LSM. Bahkan pada saat desain mereka terpilih, Ihsan beberapa kali menulis di media lokal dengan harapan ada tanggapan, namun ternyata tidak ada kecuali beberapa tanggapan positif dari pelaku ekonomi yang mendukung upaya itu, semisal Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Sebagai tambahan, pemanfaatan ruang bahwa tanah di Karebosi bukanlah yang pertama, tetapi desain itu sebenarnya sudah ada di tempat lain semisal gelanggang pemuda dan olahraga Soemantri di Kuningan Jakarta dan lapangan Merdeka di Kuala Lumpur di Malaysia.

Menanggapi dokumen amdal yang belum lengkap, Ihsan mengatakan bahwa amdal lalu lintas sebenarnya sudah diselesaikan oleh investor yang memenangkan pekerjaan ini dan dari sisi penilaian mereka, tidak ada masalah. Adapun amdal yang diminta oleh Walhi, memang belum selesai. Namun demikian, Inkindo (asosiasi konsultan) yang dirujuk PT Tosan mengatakan bahwa mereka bisa melanjutkan pekerjaan dan dokumen amdalnya dapat disusulkan kemudian.

Soal Tender
Mengenai proses tender, Ihsan mengatakan bahwa tender dilakukan dua kali melalui pemuatan iklan di Media Indonesia dan Ujungpandang Express. Hal ini dilakukan karena pada saat tender pertama, yang mengajukan penawaran hanya satu bidder yakni PT Tosan itu. Namun pada saat sampai pada saat tender kedua penawaran tetap hanya satu bidder, akhirnya diputuskan untuk menyerahkan pekerjaan ini kepada PT Tosan.

Akan tetapi, Taufik dari Walhi mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah beberapa kali memberikan tanggapan, bahkan sudah mengirimkan tulisan kritik revitalisasi Karebosi ini sekitar Oktober 2006 lalu ke beberapa harian lokal, tetapi tidak satupun media yang memuatnya. Karenanya, dia menengarai bahwa kemungkinan ada unsur kesengajaan tidak dimuatnya kritik itu. Lembaganya sendiri sudah beberapa kali meminta waktu bertemu dengan pemerintah kota untuk menyampaikan komentar, tetapi mereka belum pernah diberikan waktu sampai penunjukan pelaksana revitalisasi ini.

Beberapa Catatan
Kelihatannya, rencana awal proyek revitalisasi Karebosi tidak tersosialisasi dengan baik. Ini terlihat dari tidak sampainya desain dan rencana pemerintah kota dalam pekerjaan ini. Dalam pandangan penulis, ada dua hal yang mungkin jadi masalahnya; bisa jadi pemerintah tidak memaksimalkan sosialisasi itu, atau mungkin masyarakat tidak terlalu peduli dengan rencana ini ketika pertama kali digulirkan. Pemuatan rencana dan sosialisasi proyek di koran lokal tentu menjadi cara yang efektif, tetapi harus disadari bahwa tidak semua warga membaca koran (yang sama). Di sisi lain, semestinya masyarakat memberikan reaksi dan pandangan dari awal sehingga bisa diakomodir pemerintah dengan memanfaatkan semua saluran yang ada.

Di sinilah pentingnya fungsi dan netralitas media massa. Dugaan Taufik mengenai ketidaknetralan media massa dalam hal ini mungkin saja benar, tetapi media massa, khususnya cetak, bukan satu-satunya saluran. Itulah sebabnya, banyak pihak yang menyesalkan mengapa reaksi beberapa elemen masyarakat baru muncul sekarang justru saat pekerjaan sudah mulai dilakukan.

Hal yang cukup positif adalah bahwa PTLCD ditugaskan untuk mengawal quality control and quality assurance sampai proyek ini selesai. Memang masterplan revitalisasi Karebosi didesain oleh mereka, tetapi detail pemanfaatan ruang komersil sebesar 40% di bawah Karebosi serta Detail Engineering Design dikerjakan oleh investor. Namun demikian, PTLCD tetap memiliki wewenang untuk melakukan review dan berhak menolak rancangan yang menyalahi masterplan.

Sebagai contoh, ketika investor memberikan desain awal ruang bawah tanah yang dibuat oleh PT Arkonin, PTLCD memberikan komentar untuk perbaikan tata udara dan tata cahayanya.

Selain itu, Ihsan mengakui bahwa mereka aktif berdiskusi dengan semua pihak, termasuk LSM, dalam menjalankan tugas mereka dalam proyek ini. Dengan demikian, penulis menganggap bahwa PTLCD bisa menjadi saluran. Seperti halnya saat penulis menanyakan nasib tujuh makam yang berada di lapangan Karebosi, Ihsan menjelaskan bahwa pertengahan Nopember ini akan dilakukan pertemuan dengan keturunan raja-raja Tallo yang dianggap sebagai ahli waris untuk mendiskusikan cara terbaik melestarikan situs ini. Sebenarnya, sesuai dengan desain PTLCD, tujuh makam itu akan dipertahankan di tempat semula, tetapi akan tetap diangkat karena tempatnya akan ditinggikan. Namun demikian, detail pelaksanaannya akan ditentukan oleh ahli waris pemilik makam itu.

Transparansi pelaksanaan pekerjaan ini juga sangat penting. Pemerintah maupun elemen masyarakat Makassar harus sama-sama aktif agar komunikasi dua arah bisa interaktif. Dalam konteks inilah penulis mendukung upaya legal standing yang akan dilakukan oleh Walhi Makassar. Dengan munculnya respon masyarakat yang sebagiannya cenderung negatif, itu sudah cukup menjadi bukti bahwa komunikasi seluruh stakeholder proyek ini, di mana masyarakat juga termasuk di dalamnya, tidak berjalan efektif.

Setiap proyek mestinya dilengkapi dengan dokumen yang lengkap, khususnya studi kelayakan tentang dampak proyek tersebut kepada masyarakat dan lingkungan. Dari sisi project management yang modern, belum lengkapnya amdal pada saat pekerjaan mulai dilakukan, bisa dianggap cacat. Amdal adalah salah satu dokumen yang sangat penting untuk menilai laik tidaknya proyek tersebut. Walaupun mungkin secara legal hal ini dibolehkan, akan tetapi sequence eksekusi proyek yang umum adalah didahulukannya semua dokumen studi kelayakan dan detail desain sebelum pekerjaan pisik dilakukan. Mengapa itu diperlukan? Karena seluruh saran dan komentar harus dirujukkan kepada dokumen-dokumen itu.

Proyek ini tentu saja profitable; karena kalau tidak, tidak akan ada investor yang mau mengerjakannya. Secara mikro, kehadiran tempat komersil di ruang bawah tanah Karebosi juga pasti ikut menggeliatkan aktivitas ekonomi. Namun demikian, kekhawatiran masyarakat bahwa pada akhirnya semua fasilitas yang dibangun dipermukaan Karebosi tidak akan terawat seiring berjalannya waktu sebagaimana yang terjadi di tempat-tempat lain, juga harus dijawab oleh pemerintah. Masyarakat tentu tidak mau jika pada akhirnya Karebosi tidak lagi menjadi ruang publik dan akses masuk ke dalamnya sudah harus dibayar hanya untuk membiayai perawatannya. Jika hal ini terjadi, Karebosi seluruhnya akan berubah menjadi ruang komersil.

Semua pihak masih harus bekerja. Elemen masyarakat harus menggunakan fungsi kontrolnya untuk mengawal kebijakan pemerintah. Dalam kasus Karebosi, transparansi adalah keharusan dan sikap kritis masyarakat sangat diperlukan, maka marilah kita memanfaatkan peran masing-masing secara maksimal untuk menjaga Karebosi tetap menjadi milik warga dan bukan hanya menjadi ladang uang bagi pengusaha saja. Bukankah masyarakat Makassar yang menjadi pemilik sah Karebosi? (p!)

Kebisingan lalu lintas pada ruas jalan perkotaan.Studi kasus jalan Jenderal Sudirman Jogjakarta

Undergraduate Theses from JBPTITBPL / 2004-12-15 08:23:01
Oleh : Retno Wihanesta, Departemen Teknik Planologi-ITB
Dibuat : 2002-02-11, dengan 1 file

Keyword : Kebisingan,transportasi,lalu lintas
Subjek : Transportasi,Polusi suara
Kepala Subjek : Perencanaan Transportasi dan Prasarana



Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi menyebabkan peningkatan pergerakan yang ditandai dengan peningkatan permintaan akan kebutuhan transportasi. Hal tersebut berimplikasi pada kepemilikan jumlah kendaraan sehingga dapat menimbulkan beberapa masalah lalu lintas dan degradasi lingkungan, diantaranya adalah polusi suara atau kebisingan. Studi mengenai kebisingan ini penting dilakukan karena besarnya dampak atau pengaruh kebisingan terhadap manusia (terutama kesehatan), sedangkan perhatian terhadap kebisingan tersebut sangat kurang karena dampaknya tidak langsung dapat segera dirasakan.
Studi ini bertujuan untuk menilai tingkat kebisingan lalu lintas di jalan utama Kota Jogjakarta, yaitu jalan Jenderal Sudirman berdasarkan standar yang berlaku, baik standar nasional maupun internasional dan pengaruh kebisingan tersebut terhadap lingkungan sekitarnya (terutama manusia) serta mengkaji faktor -faktor yang mempengaruhi kebisingan lalu lintas tersebut. Jalan Sudirman dalam studi ini dibagi menjadi tiga ruas. Tingkat kebisingan lalu lintas di ruas 1 pada jarak 10 meter dari sumber adalah sebesar 67,648-74,5 dBA dan tingkat kebisingan pada jarak 20 meter dan 30 meter dari sumber masing-masing berkisar antara 63,939-71,9 dBA dan antara 60,893-69,507 dBA. Tingkat kebisingan lalu lintas yang terjadi di ruas 2 berada pada interval 70,961-75,257 dBA untuk jarak 10 meter dari sumber, antara 67,698-71,9 dBA untuk jarak 20 m dari sumber serta antara 64,544-69,308 dBA untuk jarak 30 m dari sumbe. Tingkat kebisingan lalu lintas yang terjadi di ruas 3 berada pada interval 70,659-75, 7 dBA dan sedangkan pada jarak 20 m dan 30 m dari sumber masing-masing berkisar antara 65,191-69,8 dBA dan 61,831-65,8 dBA. Tiingkat kebisingan tersebut pada umumnya telah melewati standar yang berlaku. Reaksi masyarakat yang paling besar diperkirakan timbul pada kawasan yang sensitif terhadap kebisingan lalu lintas karena besar tingkat kebisingan lalu lintas yang telah jauh melewati ambang batas kriteria tersebut telah berada pada ambang kritis timbulnya reaksi masyarakat yang tergolong sedang.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebisingan lalu lintas di Jalan Sudirman dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu sumber bising, media. jalur rambah serta penerima kebisingan. Sumber bising terdiri dari sumber bising statistik (meilputi volume kendaraan, kecepatan kendaraan dan tipe aliran lalu lintas) dan sumber bising sesaat (meliputi percepatan kendaraan, bunyi klakson, sent rem dan bunyi knalpot). Media atau jalur rambah yang berpengaruh terhadap kebisingan yaitu fungsi kawasan, lansekap jalan dan insulasi gedung atau bahan bangunan, sedangkan faktor penerima meliputi jarak antara penerima dengan sumber bising.
Mengingat guna lahan pada wilayah studi telah terbentuk, maka penanganan kebisingan dilakukan pada kondisi eksisting, yang meliputi perencanan guna lahan, manajemen lalu lintas, desain jalan dan insulasi gedung. Nmnun, dari beberapa alternatif yang mungkin dapat dilakukan pada Jalan Sudirman, maka ada beberapa upaya yang dapat diterapkan, yaitu penanaman lansekap jalan, penggunaan noise barrier dan aspal karet.

Deskripsi Alternatif :



Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi menyebabkan peningkatan pergerakan yang ditandai dengan peningkatan permintaan akan kebutuhan transportasi. Hal tersebut berimplikasi pada kepemilikan jumlah kendaraan sehingga dapat menimbulkan beberapa masalah lalu lintas dan degradasi lingkungan, diantaranya adalah polusi suara atau kebisingan. Studi mengenai kebisingan ini penting dilakukan karena besarnya dampak atau pengaruh kebisingan terhadap manusia (terutama kesehatan), sedangkan perhatian terhadap kebisingan tersebut sangat kurang karena dampaknya tidak langsung dapat segera dirasakan.
Studi ini bertujuan untuk menilai tingkat kebisingan lalu lintas di jalan utama Kota Jogjakarta, yaitu jalan Jenderal Sudirman berdasarkan standar yang berlaku, baik standar nasional maupun internasional dan pengaruh kebisingan tersebut terhadap lingkungan sekitarnya (terutama manusia) serta mengkaji faktor -faktor yang mempengaruhi kebisingan lalu lintas tersebut. Jalan Sudirman dalam studi ini dibagi menjadi tiga ruas. Tingkat kebisingan lalu lintas di ruas 1 pada jarak 10 meter dari sumber adalah sebesar 67,648-74,5 dBA dan tingkat kebisingan pada jarak 20 meter dan 30 meter dari sumber masing-masing berkisar antara 63,939-71,9 dBA dan antara 60,893-69,507 dBA. Tingkat kebisingan lalu lintas yang terjadi di ruas 2 berada pada interval 70,961-75,257 dBA untuk jarak 10 meter dari sumber, antara 67,698-71,9 dBA untuk jarak 20 m dari sumber serta antara 64,544-69,308 dBA untuk jarak 30 m dari sumbe. Tingkat kebisingan lalu lintas yang terjadi di ruas 3 berada pada interval 70,659-75, 7 dBA dan sedangkan pada jarak 20 m dan 30 m dari sumber masing-masing berkisar antara 65,191-69,8 dBA dan 61,831-65,8 dBA. Tiingkat kebisingan tersebut pada umumnya telah melewati standar yang berlaku. Reaksi masyarakat yang paling besar diperkirakan timbul pada kawasan yang sensitif terhadap kebisingan lalu lintas karena besar tingkat kebisingan lalu lintas yang telah jauh melewati ambang batas kriteria tersebut telah berada pada ambang kritis timbulnya reaksi masyarakat yang tergolong sedang.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebisingan lalu lintas di Jalan Sudirman dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu sumber bising, media. jalur rambah serta penerima kebisingan. Sumber bising terdiri dari sumber bising statistik (meilputi volume kendaraan, kecepatan kendaraan dan tipe aliran lalu lintas) dan sumber bising sesaat (meliputi percepatan kendaraan, bunyi klakson, sent rem dan bunyi knalpot). Media atau jalur rambah yang berpengaruh terhadap kebisingan yaitu fungsi kawasan, lansekap jalan dan insulasi gedung atau bahan bangunan, sedangkan faktor penerima meliputi jarak antara penerima dengan sumber bising.
Mengingat guna lahan pada wilayah studi telah terbentuk, maka penanganan kebisingan dilakukan pada kondisi eksisting, yang meliputi perencanan guna lahan, manajemen lalu lintas, desain jalan dan insulasi gedung. Nmnun, dari beberapa alternatif yang mungkin dapat dilakukan pada Jalan Sudirman, maka ada beberapa upaya yang dapat diterapkan, yaitu penanaman lansekap jalan, penggunaan noise barrier dan aspal karet.

Selasa, 23 Desember 2008

Tutorial Photoshop

Setelah berkreasi banyak dengan foto.. gak ada salahnya kita kembali ke Text Effect… Meskipun peminatnya gak terlalu banyak.. tapi menarik banget untuk dipelajari.. karena dalam design kita gak bisa lepas dari text.

Ya udah.. mulai aja ya.. Hasilnya mungkin nanti kayak begini :

Buka Dokumen baru.. 400×400 px dan 300dpi. Gunakan Type tool untuk membuat tulisan seperti dibawah :

Klik 2x layer huruf tadi, muncul layar blending option atau klik kanan di layer huruf > blending option. Contreng Stroke dan kasih nilai 3 dan warna putih.

Buat duplikasi layer huruf tadi dengan menekan CTRL + J , Masuk ke Blending Option lagi.. dan ubah nilai stroke menjadi 6 dan warna hitam.

lalu pindahkan layer duplikat tadi ke bawah layer huruf pertama dengan men DRAG [menggeser layer TEST copy ke bawah layer TEST sambil ditekan mouse nya - red (saya jelaskan DRAG karena suka banyak yang tanya DRAG itu apa.. )].

Sebenernya sampe disini udah jadi sih.. tapi List nya cuman satu.. kalo mau buat list lagi , Duplikasi lagi layer TEST copy tadi dengan menekan CTRL + J lalu pindahkan di bawah layer test copy ( jadi si layer hasil duplikat tadi berada di bawah layer test copy). Klik 2x atau klik kanan lalu kik Blending Option, Ubah nilai Stroke menjadi 9 dan warna jadi putih.

Sekarang buat duplikat layer yang baru terbentuk tadi dengan menekan CTRL +J, Blending Option lagi.. Ubah Nilai stroke jadi 14 atau 13 .. dan ubah warna jadi Hitam atau sesuai warna dasar huruf. dan klik OK.

Urutan LAYER :

Hasilnya :

gampang kan ??

Selamat mencoba..

Pencerahan arsitektur

Geometri Sebagai Ekspresi Kebebasan Bentuk

oleh : Mu s t a k i m


Pro-kontra mengenai geometri itu sebagai sesuatu yang mengikat ataupun membebaskan di dalam dunia arsitektur, mungkin tidak akan ada habisnya untuk dibahas atau dicari solusinya, semuanya itu tergantung dari persepsi kita masing-masing. Antara geometri itu mengikat atau membebaskan, masing-masing memiliki kedudukan atau posisi yang sama kuat. Tetapi pada kesempatan ini, saya akan coba membahas geometri sebagai sesuatu yang membebaskan di dalam dunia arsitektur. Mungkin pertanyaan yang timbul adalah: Seperti apakah kebebasan yang ada di dalam geometri? Dalam wujud apakah kebebasan itu?"

"…,because we don’t want to exclude everything in architecture that makes us uneasy. We want architecture that has more to offer. Architecture that bleeds, exhausts, that turns and even breaks, as far as I am concerned. Architecture that glows, that stabs, that tears and rips when stretched. Architecture must be precipitous, fiery, smooth, hard, angular, brutal, round, tender, colorful, obscene, randy, dreamy, en-nearing, distancing, wet, dry and heart-stopping. Dead or alive. If it is cold, then cold as a block of ice. If it is hot, then as hot as a tongue of flame. Architecture must burn! " (Coop Himmelb(l)au, Covering and Exposing: The Architecture of Coop Himmelb(l)au)

Mungkin kata-kata atau filosofi utama dari Coop Himmelb(l)au inilah yang akan mengawali pembahasan geometri sebagai sesuatu yang membebaskan di dalam dunia arsitektur. Untuk lebih jelasnya, saya akan mencoba sedikit mengupas mengenai sejarah dari Coop Himmelb(l)au. Coop Himmelb(l)au yang didirikan oleh Wolf D. Prix dan Helmut Swiczinsky pada tahun 1968 di Vienna (Austria) adalah salah satu praktisi arsitektur muda pada masa itu dengan ide-ide baru yang cukup radikal. Modernisme dengan dominasi rasionalitasnya dianggap membatasi arsitek dalam menjelajahi kemungkinan bentuk-bentuk baru dalam bahasa arsitektur. Oleh karena itu, Coop Himmelb(l)au berusaha mengeksplorasi dan mencari kemungkinan-kemungkinan lain dalam “bahasa arsitektural”. Coop Himmelb(l)au berusaha menciptakan perubahan mendasar pada arsitektur, urbanisme, struktur, dan tektonik. Dapat dikatakan Coop Himmelb(l)au berusaha mencari ”arsitektur yang merdeka”.


Gambar 1. Musee des Confluences, Lyon, France
Sumber: Covering and Exposing: The Architecture of Coop Himmel(b)lau


Gambar 2. UFA Cinema Center, Dresden, Germany
Sumber: Covering and Exposing; The Architecture of Coop Himmel(b)lau


Dari pendapat dan pemikiran Coop Himmelb(l)au inilah, saya berpendapat bahwa geometri sebagai sesuatu yang membebaskan, atau lebih tepatnya geometri menghasilkan bentuk (form) arsitektur yang bebas. Walaupun cara-cara pemikiran dari geometri beserta dengan aturan atau kaidah yang ada di dalamnya bersifat mengikat, namun hasilnya pada akhirnya akan membawa kita ke dalam suatu kebebasan bentuk dan ekspresi, yaitu dunia arsitektur yang merdeka. Karena yang kita rasakan adalah form dan experience dalam bentuk ruang 3 dimensional dan waktu (space and time).

Mungkin hal-hal seperti itulah yang tidak disadari oleh diri kita. Karena pada dasarnya, dari pendidikan sekolah kanak-kanak sampai sekolah menengah, kita hanya mengenal bentuk-bentuk geometri dasar, seperti kubus, kotak, limas, balok, prisma, silinder, bola, dan bentuk lainnya. Dan pada saat itu kita hanya bersifat pasif atau diam menerima apa adanya. Sehingga semuanya seakan terbungkus menjadi suatu doktrin atau pemikiran, bahwa seperti itulah geometri. Padahal jika kita telusuri lebih lanjut dan lebih dalam lagi, geometri bukanlah hanya seperti itu. Geometri berarti ilmu ukur suatu ruang. Dan ruang yang dimaksud adalah bumi, tempat kita sebagai manusia hidup dan menetap. Jadi geometri berarti measuring the earth. Kata-kata ”bumi” (geo) inilah yang tidak disadari oleh kita, padahal kata-kata “bumi” merupakan sesuatu yang sangat krusial di dalam pengertian dasar mengenai arti dari geometri.

Bumi adalah alam, dan alam pada dasarnya adalah sesuatu yang dinamis dan tidak statis, penuh dengan perubahan. Alam merupakan sesuatu yang bebas, tidak terikat. Dari pengertian ini, kita bisa menyimpulkan bahwa geometri adalah sesuatu yang pada dasarnya adalah bebas, penuh dengan kedinamisan.

Selama ini, pengertian kita mengenai geometri hanya terpaku oleh bentuk-bentuk Euclidean geometry saja, padahal pengertian dari geometri lebih dari itu. Sama halnya dengan pengertian dari kata yang diucapkan oleh Coop Himmelb(l)au, ”Architecture must burn”. Bahwa ”Architecture must burn” itu tidak hanya sekedar arsitektur, tetapi lebih kepada bagaimana kita melihat dunia ini. Dunia arsitektur seharusnya mengungkapkan suatu potensi baru (unknown) di dunia nyata yang tidak pernah kita sadari.

Dunia geometri sebenarnya merupakan dunia yang kaya akan potensi yang baru. Geometri mengandung pengertian yang sangat luas. Sebagai contoh adalah suatu bentuk geometri adalah berupa form yang menghasilkan suatu visual perception, di mana perception merupakan conscious experience of object. Masing-masing orang sebagai subjek yang merasakan ruang (experience) mempunyai kebebasan di dalam mempersepsikan ruang tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika persepsi masing-masing orang mengenai ekspresi maupun bentuk geometri itu berbeda-beda.

Di dalam geometri, kita juga dapat menemukan unsur-unsur yang ada di dalam dunia musik. Ritme dan irama dapat ditampilkan melalui wujud dan ekspresi sebuah form dari karya arsitektur. Ekspresi yang ditimbulkannya pun bisa bermacam-macam, dan sangat mempengaruhi persepsi kita masing-masing. Karena posisi kita sebagai manusia yang merasakan suatu ruang adalah sebagai subjek yang mempersepsikan sebuah objek.

Bukti lain bahwa geometri itu merupakan suatu dunia yang kaya dan luas adalah adanya pengertian mengenai topologi dan mobius strip. Di dalam topologi terjadi sesuatu yang dinamakan deformasi. Deformasi terjadi oleh karena suatu gaya (force), namun konektivitas (connectivity) di dalam form atau bentuk geometri tersebut tetap terjaga. Sehingga terwujud suatu keutuhan (wholeness) di dalam form tersebut. Hal ini seharusnya juga berlaku di dalam setiap karya arsitektur. Meskipun suatu karya arsitektur terlepas dari bentuk-bentuk yang mengikat seperti bentuk Euclidean, tetapi karya ”arsitektur yang bebas” itu juga harus tetap mengutamakan konektivitas dan keutuhan.


Gambar 3. Mobius strip
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/mobius_strip


Deformasi atau perubahan ini pun sekarang sangat mempengaruhi bentuk (form) dari geometri. Gagasan tentang bentuk geometri pun mulai berubah. Ruang dan geometri bergeser dari geometri Euclidean dengan aturan translasinya dalam ruang cartesian ke geometri topologi dengan perubahan vektoralnya, sehingga bentuk dari karya arsitektur itu sendiri menjadi bebas dan tidak terikat lagi oleh aturan-aturan klasik. Inilah yang dikenal dengan sebutan gagasan flux (sebuah konstelasi sementara yang terus bergerak dan berubah) di dalam dunia arsitektur yang menghadirkan persepsi baru terhadap ruang dan bentuk karya rancang arsitektur secara konseptual maupun dalam pengapresiasiannya. Bentuk dan ruang seolah berkembang dan lahir dari sebuah alur perubahan yang dinamis dalam ruang. Hal ini merupakan ekspresi kebebasan suatu bentuk (form) dalam geometri.

Bahkan ilmu biologi pun dapat diterapkan pada bentukan dari geometri. Sehingga tidak heran jika karya-karya arsitektur, banyak yang berbentuk atau mengadopsi natural form. Pada saat ini di dalam geometri dan arsitektur, bentuk-bentuk yang biasa kita kenal telah hilang, seakan-akan seperti ditelan oleh cepatnya perubahan. Lalu muncullah bentuk yang benar-benar baru, aneh, dan terasa asing, tetapi tetap merupakan ruang tempat hidup manusia. Arsitektur dan geometri tidak harus menuruti apa yang telah ada sebelumnya, tetapi mewujudkan sebuah ruang yang bebas dimana kita dapat menjelajahinya. Pada akhirnya arsitektur dan geometri harus membuat tempat yang disebut sebagai ruang kebebasan. Sebagai bentuk dan ekspresi kebebasan diri, terkadang arsitektur diwujudkan sebagai bentuk atau form yang mungkin saja tidak dapat hadir di dalam dunia nyata, tetapi hanya dapat hadir di dalam suatu imajinasi atau electrosphere dengan bantuan kecanggihan teknologi virtual.

Di dalam geometri kita juga diberikan kebebasan untuk menggunakan ide di dalam merancang suatu karya arsitektur (form). Ternyata banyak sekali alternatif atau pilihan prinsip geometri di dalam merancang, seperti menggunakan prinsip classical idea, euclidean, non-euclidean, topologi, teori gestalt, teori gibson, taksonomi, dan lainnya. Hal-hal inilah yang sebenarnya tidak kita ketahui sebelumnya, bahwa di dalam geometri terdapat banyak ide atau pemikiran. Sehingga suatu bentuk dan karya arsitektur yang dihasilkan pun akan sangat kaya dan beragam ekspresinya maupun wujudnya.

Bentuk atau form yang ”bebas” bukanlah berarti suatu bentuk yang sebebas-bebasnya. Arsitektur tetap harus dapat menjadi perlambang sesuatu, atau pun perlambang dirinya sendiri. Arsitektur harus dapat menyampaikan isi atau makna yang terkandung di dalamnya. Lebih jauh lagi, arsitektur harus dapat memicu pertanyaan, ”Mengapa dan bagaimana ia diciptakan?”. Something di dalam geometri itulah yang sangat penting sebagai proses pembentukan suatu form atau karya arsitektur. Arsitektur yang baik adalah arsitektur yang dengan jujur mengupas segalanya hingga menjadi jelas. Proses pembentukan form ini seringkali menjadi hal yang terlewatkan untuk kita sadari ketika sedang merancang. Padahal proses pembentukan form itulah yang sangat penting untuk kita ketahui. Suatu bentuk yang sederhana sekali pun, pada dasarnya memiliki arti di dalamnya, baik itu proses pembentukan maupun kehadirannya.

Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah, berdasarkan pengertian dari geometri (measuring the earth), geometri adalah sesuatu yang dinamis. Kita terperangkap pada pemikiran-pemikiran kuno mengenai geometri. Jika ditelusuri atau dipahami lebih lanjut, geometri lebih dari itu. Geometri dapat menghasilkan bentuk (form) karya arsitektur yang bebas. Kita juga dapat secara bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ada di dalam geometri, sebagai dasar untuk menghasilkan suatu bentuk atau karya arsitektur. Sehingga suatu karya arsitektur menjadi sesuatu yang benar-benar merdeka dan bebas baik dari segi ekspresi bentuknya (form). Kata bebas atau merdeka di sini tidak berarti mengandung pengertian yang sebebas-bebasnya. Tetapi tetap mengacu kepada something yang ada di dalam geometri, sebagai proses pembentukan suatu form atau karya arsitektur.

Arsitektur vernakular sebagai bahasa arsitektur yang tidak terbatas pada sistem konstruksi


Vernakular menjadi penting untuk konteks arsitektur di Asia karena Asia terdiri dari berbagai berbagai budaya dan adat yang berlainan disetiap wilayahnya. Setiap wilayah memiliki arsitektur spesifik yang berasal dari tradisi, yaitu adaptasi manusia lokal terhadap alam yang memunculkan berbagai cara untuk menanggulangi iklim untuk kenyamanan bangunan.

Salah satu contoh, yang selalu ditekankan oleh Profesor Joseph Prijotomo tentang arsitektur vernakular Jawa Timur, adalah arsitektur pernaungan, yaitu suatu cara untuk bernaung menghadapi iklim, dimana atap adalah bagian terpenting dari desain arsitektur vernakular. Meskipun demikian, sebenarnya denah maupun luas bangunan yang ditentukan oleh aktivitas didalamnya tetap menentukan besaran atap. Bagi orang Jawa, semua hitungan dimensi rumah dibuat berdasarkan primbon, yang merupakan sistem kepercayaan orang Jawa yang ditaati karena dipercaya sebagai sistem kebenaran, bukan seperti sistem dunia barat yang ditaati sebagian besar karena sistem hukum.

Merujuk pada pendapat pak Joseph tentang arsitektur pernaungan, maka konteks sistem konstruksi menjadi satu bagian dari arsitektur vernakular Jawa Timur yang tidak signifikan, tetapi adalah salah satu bagian dari elemen pembentuk bangunan semata.

Vernacular artinya adalah bahasa setempat, dalam arsitektur istilah ini untuk menyebut bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan termasuk iklim setempat, diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak denah, struktur, detail-detail bagian, ornamen dll)

Yulianto Sumalyo

…comprising the dwellings and all other buildings of the people. Related to their environmental contexts and available resources they are customarily owner- or community-built, utilizing traditional technologies. All forms of vernacular architecture are built to meet specific needs, accommodating the values, economies and ways of life of the cultures that produce them.

Encyclopedia of Vernacular Architecture of the World

Sebagai bahasa, maka implementasi dari arsitektur vernakular boleh jadi tidak terpengaruh oleh jenis konstruksi yang digunakan, karena jenis konstruksi merupakan salah satu faktor yang disebut sebagai ‘komponen kebudayaan material’ menurut Heinz Frick, yaitu ketrampilan pertukangan, yang dalam arsitektur vernakular adalah salah satu faktor terpenting dalam tradisi arsitektur. Jenis konstruksi berubah setiap waktu, dan apakah kita dapat menyebut jenis konstruksi berdasarkan material baru sebagai bagian baru dari arsitektur vernakular, adalah hal yang masih dipertanyakan, seiring dengan kemampuan masyarakat lokal untuk mengadaptasi berbagai teknologi tepat guna untuk material baru. Kapankah teknologi yang tergolong baru, seperti penggunaan kaca yang makin bervariasi, menjadi bagian dari arsitektur vernakular?

Lokasi: DeDaunan

Arsitektur vernakular seringkali diidentikkan dengan jenis arsitektur yang berkembang tanpa bantuan desainer (arsitek), dan merupakan jawaban adaptif dari manusia lokal untuk beradaptasi dengan lingkungan dan mengatasi lingkungan melalui desain dengan cara try and error. Bila cara-cara ini bisa berlangsung berulang-ulang melalui ajaran dari mulut ke mulut, maka ia menjadi tradisi. Terkadang meskipun sebuah material tergolong baru, seperti penggunaan kaca untuk rumah bagi masyarakat Indonesia pedalaman, bila ia dikenal melalui proses try and error sehingga lazim digunakan dalam rumah-rumah tinggal, maka ia menjadi bagian dari arsitektur vernakular.

Karena lazimnya arsitektur vernakular dikenal oleh masyarakat di daerah tertentu sebagai arsitektur ‘paling berhasil’, maka tidak mengherankan bila arsitektur vernakular menjadi rujukan utama untuk melihat bagaimana arsitektur dengan teknologi yang lebih baru bisa dikembangkan secara lebih adaptif terhadap lingkungan. Hal ini karena manusia modern juga sudah menemukan jenis arsitektur yang ‘tahan terhadap segala cuaca’, seperti arsitektur gedung tinggi yang tertutup kaca dan menggunakan pengatur udara (Air Conditioner) buatan. Arsitektur yang disebut terakhir merupakan arsitektur yang kurang berwawasan lingkungan.

Karena itu, arsitektur vernakular boleh jadi merupakan panduan untuk membuat arsitektur berwawasan lingkungan, dalam arti memperhatikan potensi lokal seperti udara alami, tanaman, material alami, dan sebagainya. Mempelajari arsitektur vernakular dapat membantu kita memahami bagaimana secara wajar, kita dapat mengolah material dalam sistem konstruksi untuk menghadapi alam melalui arsitektur tanpa berlebihan. Di Indonesia, sudah menjadi konsensus bahwa atap yang tinggi dengan plafon dapat membantu rumah terasa lebih sejuk, dan dapat mengalirkan air hujan lebih cepat. Teritisan merupakan cara jitu untuk menghalau hujan memasuki pintu dan jendela. Teras adalah bagian dari rumah dimana kita bisa merasakan hembusan angin di udara tropis dengan nyaman.

Pengetahuan arsitektur vernakular dapat dilihat secara langsung melalui bangunan-bangunan arsitektur rakyat yang menggunakan teknologi sederhana dan tepat guna. Kesederhanaan justru menjadi ciri utama yang memberikan nilai lebih berupa estetika khas arsitektur vernakular dan tradisional. Kesederhanaan dalam penggunaan material, menjadi cermin dari tingkat kematangan desain dan bagaimana menggunakan material secara wajar dan tidak berlebihan.



taking_red

Global Warming

Indonesia mulai merasakan dampak pemanasan global (global warming), yang dibuktikan dari berbagai perubahan iklim maupun bencana alam yang terjadi.

"Sudah banyak ditemukan dampak pemanasan global di Indonesia," kata koordinator kampanye bidang iklim dan energi World Wild Fund (WWF) Indonesia, Verena Puspawardhani, di Banda Aceh, Sabtu (30/6).

Dampak pemanasan global itu diantaranya, terjadinya perubahan musim di mana musim kemarau menjadi lebih panjang sehingga menyebabkan gagal panen, krisis air bersih dan kebakaran hutan.

Dampak lainnya yaitu hilangnya berbagai jenis flaura dan fauna khususnya di Indonesia yang memiliki aneka ragam jenis seperti pemutihan karang seluas 30% atau sebanyak 90-95% karang mati di Kepulauan Seribu akibat naiknya suhu air laut.

"Pemanasan global juga memicu meningkatnya kasus penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. setiap tahunnya di Indonesia semakin banyak pasien penderita penyakit ini," katanya.

Selain itu, penelitian dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menyebutkan, Februari 2007 merupakan periode dengan intensitas curah hujan tertinggi selama 30 tahun terakhir di Indonesia. Hal ini menandakan perubahan iklim yang disebabkan pemanasan global.

Indonesia yang terletak di equator merupakan negara yang pertama sekali akan merasakan dampak perubahan iklim. Dampak tersebut telah dirasakan yaitu pada 1998 menjadi tahun dengan suhu udara terpanas dan semakin meningkat pada tahun-tahun berikutnya.

Diperkirakan pada 2070 sekitar 800 ribu rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan sebanyak 2.000 dari 18 ribu pulau di Indonesia akan tenggelam akibat naiknya air laut.

Perubahan iklim yang disebabkan pemanasan global telah menjadi isu besar di dunia. Mencairnya es kutub utara dan kutub selatan yang akan menyebabkan kepunahan habitat di sana merupakan bukti dari pemanasan global.

Pemanasan global disebabkan kegiatan manusia yang mengasilkan emisi gas rumah kaca dari industri, kendaraan bermotor, pembangkit listrik bahkan menggunaan listrik berlebihan.

"Karena itu yang harus dilakukan untuk mengatasi ancaman pemanasan globala adalah melakukan penghematan energi listrik, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, menghentikan penebangan dan pembakaran hutan," katanya.

Ditambahkannya, pemerintah harus didesak untuk menggunakan energi terbarukan seperti matahari, air dan angin yang lebih ramah lingkungan.